Mengapa AS Mendukung Invasi Saudi Arabia ke Yaman?
Rational Actor Model: Analisa Kebijakan Luar Negeri AS Terkait Dukungan Invasi Arab Saudi ke Yaman tahun 2015-2018
A. Latar Belakang
Hubungan bilateral antara Amerika Serikat (AS) dengan Arab Saudi meliputi kerjasama strategis di bidang ekonomi dan keamanan. Di bidang ekonomi Saudi merupakan negara terbesar penyedia minyak mentah AS, dibuktikan dengan 1,1 juta bpd (barrel per day) minyak mentah diekspor ke AS dan mencakup 14,3% dari impor minyak mentah AS pada tahun 2015. Di bidang keamanan Saudi mempunyai peran penting dalam menjaga keamanan di Timur Tengah karena ekonomi, politik, dan lokasinya yang strategis sehingga Saudi berada di perlindungan payung keamanan AS, dibuktikan dengan adanya Mutual Defense Assistance Agreement sejak tahun 1951 antara AS dan Saudi yang mewajibkan AS untuk menyediakan pelatihan militer permanen dan penjualan senjata ke Saudi. Hubungan bilateral keduanya diperkuat oleh beberapa ancaman keamanan yang sama diantaranya yaitu terorisme, ancaman dari Iran dan sekutunya, serta pemberontakan dari kelompok ekstrimis di Timur Tengah. AS menganggap Saudi sebagai negara yang potensial dan dapat diandalkan dalam menjaga stabilitas keamanan di Timur Tengah, sehingga kepentingan AS di Timur Tengah seringkali melibatkan Saudi sebagai eksekutor utama.
AS juga telah membantu Saudi dalam mencapai berbagai kepentingan regionalnya, salah satunya yaitu mendukung Saudi untuk invasi ke Yaman dengan tujuan menyingkirkan pemberontak Houthi (yang didukung oleh Iran) yang menduduki Yaman. Pada Maret 2015 Saudi memimpin 7 negara lainnya yaitu Uni Emirat Arab, Mesir, Maroko, Yordania, Bahrain, India, dan Kuwait untuk invasi Yaman melalui Operation Decisive Storm atau Amaliyyat 'Āṣifat al-Ḥazm yaitu serangan udara, darat dan blokade laut, dimana semua perlengkapan militer disponsori oleh AS. Lalu pada April 2015, Operation Decisive Storm berakhir dan digantikan oleh Operation Restoring Hope atau Amaliyyat 'I'ādat al-'Amal yaitu peralihan dari operasi militer ke proses politik, namun nyatanya invasi militer tetap berlanjut . Lalu pada Mei 2015, Saudi dan Houthi sepakat untuk gencatan senjata sementara AS berupaya untuk mediasi konflik tersebut dengan mengadakan pertemuan Gulf Cooperation Council (GCC), namun hanya dua dari enam negara anggota yang hadir . Lalu pada Oktober 2016 sampai Mei 2017 keduanya membatalkan gencatan senjata dan Houthi mulai menembakan rudal ke Riyyadh, penembakan tersebut berlanjut hingga April 2018 namun berhasil dicegat oleh Saudi . Lalu pada Juni 2018 Saudi meluncurkan serangan udara ke pelabuhan dan bandara Yaman karena diduga untuk menyelundupkan senjata buatan Iran, termasuk rudal yang digunakan untuk menargetkan Riyadh. Invasi Saudi ke Yaman menyebabkan rusaknya fasilitas-fasilitas umum, jumlah korban sipil yang besar, timbulnya kelaparan akibat blokade dan penyerangan terhadap pelabuhan dan bandara Hodeida oleh Saudi. Invasi tersebut menimbulkan berbagai kritik dari negara-negara lain dan menjadi penyebab krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini.
Invasi Saudi ke Yaman disebabkan karena pemberontak Houthi di Yaman disponsori oleh Iran, rival regional Saudi. Saudi tidak menginginkan adanya ancaman keamanan dari Iran berada tepat diperbatasan negaranya dan serangan-serangan rudal Houthi ke Riyadh dianggap sebagai agresi militer Iran terhadap Saudi, dibuktikan dengan pernyataan Mohammed bin Salman “The involvement of the Iranian regime in supplying its Houthi militias with missiles is considered a direct military aggression by the Iranian regime and may be considered an act of war against the Kingdom”. Hal tersebut secara tidak langsung mereferensikan Iran sebagai pendukung utama pemberontak Houthi dan menyebabkan konflik/perang sipil di Yaman. Sehingga, perang sipil tersebut disimpulkan sebagai salah satu perang proxy antara Saudi dan Iran di Timur Tengah untuk menjadi regional leader.
Peran AS cukup krusial dalam mendukung Saudi untuk invasi Yaman. Kebijakan luar negeri AS yang didukung oleh adanya hubungan bilateral strategis dengan Saudi membuat AS secara otomatis mendukung Saudi. AS mengirimkan suplai persenjataan, peralatan militer, logistik, dan bantuan intelejen untuk Saudi. Selain itu pada Desember 2017, AS telah mengirimkan sebuah tim tentara elit AS yang disebut Green Berets untuk membantu Saudi mengalahkan pemberontak Houthi . Di sebuah pernyataan pers bulan April 2018, pejabat tinggi Departemen Luar Negeri AS, David Satterfield, mengatakan bahwa pemerintah memperingatkan Uni Emirat Arab dan Arab Saudi untuk tidak melancarkan serangan terhadap pelabuhan dan beresiko memperparah situasi kemanusiaan, “We would not view such an action consistent with our own policy upon which our support is based”. Namun, nyatanya hal tersebut tidak menghentikan Saudi dan Houthi serta tidak menghentikan dukungan militer AS untuk Saudi. Bahkan saat Saudi berencana menyerang pelabuhan Hodeida Yaman pada bulan Juni 2018 lalu, pemerintah AS telah memberi dukungan terhadap serangan tersebut.
Kebijakan luar negeri AS terkait dukungannya terhadap invasi Saudi ke Yaman dianggap sebagai langkah AS menjaga kestabilan keamanan di Timur Tengah dengan menyerang pemberontak Houthi. Namun, kebijakan luar negeri AS tersebut juga dinilai politis karena disaat yang sama, AS memanfaatkan Saudi sebagai eksekutor utama counterbalance Iran. Dengan kata lain, AS mempunyai national interest dalam konflik Saudi-Yaman yang membuat AS memilih kebijakan luar negeri tersebut. Penulis menggunakan analisa Rational Actor Model atau Model I dari Graham Allison dengan level analisa sistem untuk mengindentifikasi tujuan dan proses pembuatan kebijakan luar negeri AS tersebut. Menurut Allison, “The attempt to explain international events by recounting the aims and calculations of nations or governments is the trademark of the Rational Actor Model” . Allison menekankan bahwa negara merupakan aktor yang rasional yaitu kebijakan luar negeri yang dihasilkan merupakan hasil dari pertimbangan keuntungan dan kerugian dari tiap pilihan yang dapat diambil negara dalam menghadapi sebuah isu. Proses pembuatan kebijakan luar negeri AS terkait dukungannya terhadap invasi Saudi ke Yaman akan dijelaskan lebih rinci dengan menggunakan analisa Model I Graham Allison di bagian selanjutnya. Hal tersebut penting untuk dipaparkan karena sedikit media dan peneliti yang membahas isu tersebut serta masyarakat awam belum mengerti tentang peran AS dalam isu konflik Saudi-Yaman yang telah menyebabkan Yaman menjadi negara dengan krisis kemanusiaan terbesar didunia saat ini.
B. Rumusan Masalah
Terdapat dua pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa kepentingan AS dalam konflik Saudi-Yaman tahun 2015-2018?
2. Bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri AS terkait dukungan invasi Arab Saudi ke Yaman tahun 2015-2018?
C. Teori
Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk analisa diantaranya:
1. National Interest oleh Hans Morgenthau dan System Level Analysis
Menurut Hans Morgenthau, gagasan tentang National Interest secara umum yaitu kemampuan minimum negara-negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultural dari gangguan negara-negara lain. Ia menyatakan bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional dan studi Hubungan Internasional lebih memfokuskan bagaimana negara berinteraksi dengan negara lainnya dalam memaksimalkan interest dan power masing-masing. Menurut Morgenthau, kepentingan nasional dikonseptualisasikan dalam empat kategori utama: berdasarkan kepentingan negara yaitu kepentingan vital dan sekunder; berdasarkan durasi yaitu kepentingan sementara dan permanen; berdasarkan kekhususan yaitu kepentingan spesifik dan umum; serta berdasarkan kompatibilitas kepentingan nasional yaitu dapat saling melengkapi dan bertentangan . National Interest suatu negara tidak ditentukan secara pasti dan seringkali berbeda antara satu negara dengan yang lain, ada yang sudah ditetapkan ada pula yang mengikuti situasi yang dihadapi. Sehingga, dapat dikatakan bahwa National Intrest merupakan konsep yang immaterial atau abstrak karena sifatnya yang dapat statis dan dinamis sehingga perlu diekstrak melalui berbagai indikator.
National Interest secara teoritis digunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara. Pelaksanaan National Interest dapat berupa kerjasama bilateral maupun multilateral, dukungan, konflik dan lain-lain. National Interest sebuah negara bergantung dari sistem pemerintahan yang dimiliki, negara-negara yang menjadi partner dalam hubungan diplomatik, hingga identitas dan sejarah politik. Menurut Morgenthau, “The state has the authority and power to structure the internal order, but the possibility of threat from external forces (foreign countries) is a fundamental aspect of the nature of international relations and can strongly influence the national interest of a state”. Hal tersebut menunjukan bahwa kondisi eksternal dalam dunia internasional juga dapat mempengaruhi National Interest suatu negara.
Pada dasarnya, dalam dunia yang anarki tiap negara selalu dalam keadaan kompetisi atas bagaimana memaksimalkan National Interest melalui berbagai macam strategi, salah satunya melalui kebijakan luar negerinya. Dalam proses pencapaian National Interest, negara mengaplikasikan National Interest ke dalam tujuan kebijakan luar negeri, karena dalam proses pencapaian National Interest tidak lepas dari power untuk mengontrol negara lain agar National Interest suatu negara dapat terwujud. National Interest digunakan oleh negara sebagai landasan pembuatan kebijakan luar negeri, didukung oleh pernyataan Morgenthou bahwa “All nations must defend these interests at any price” yang berarti bahwa negara dapat menggunakan cara atau strategi apapun dalam level internasional untuk mencapai National Interest. Dalam isu keamanan, strategi-strategi yang dapat digunakan sebagai kebijakan luar negeri dalam memaksimalkan power negara dan mencapai National Interest yaitu yaitu Counterbalance atau Balance of Power, Bandwagoning, Balance of Threat, dan lain-lain.
Dalam analisa kebijakan luar negeri, National Interest erat kaitannya dengan System Level Analysis. System Level Analysis menurut Moore merupakan “System-level analysis focuses on the external restraints on foreign policy. This is a top-down approach to world politics that examines the social-economic-politicalgeographic characteristics of the system and how they influence the actions of countries and other actors”. Keduanya sama-sama menganggap negara sebagai unit analisa di sebuah sistem global maupun regional. National Interest berfungsi sebagai tujuan kebijakan luar negeri dan tujuan tersebut juga dapat terbentuk oleh faktor-faktor eksternal dalam System Level Analysis seperti karateristik struktural, keterkaitan power, realita ekonomi, dan norma-norma. National Interest dan System Level Analysis dapat melengkapi satu sama lain untuk menganalisa tujuan atau kepentingan negara dalam merumuskan kebijakan luar negeri serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tujuan tersebut terbentuk. Hal tersebut penting untuk dianalisa karena tujuan kebijakan luar negeri berperan penting dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Selanjutnya, tujuan tersebut dapat menjadi analisa tambahan di Rational Actor Model.
2. Rational Actor Model atau Model I oleh Graham Allison
Rational Actor Model (RAM) adalah salah satu kerangka kerja analisis kebijakan luar negeri oleh Graham Allison yang pertama diperkenalkan dan diuraikan dalam secara nyata dalam Cuban Missile Crisis tahun 1962. Menurut Graham Allison, negara dan individu pengambil keputusan merupakan aktor yang rasional, sehingga kebijakan luar negeri yang dihasilkan berdasarkan hasil dari perhitungan keuntungan dan kerugian atau resiko. Negara cenderung akan memilih kebijakan yang sesuai dengan tujuannya dan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya (maximizing utility) dengan kerugian sekecil mungkin. Kebijakan luar negeri dapat dikatakan berhasil jika hal tersebut dapat dicapai, namun tidak sedikit negara mengambil kebijakan yang tidak tepat.
Analisa RAM merupakan proses pembuatan kebijakan luar negeri dengan format step-by-step dan sangat sistematis. Yang pertama yaitu, mengidentifikasi tujuan kebijakan luar negeri berdasarkan isu yang dihadapi. Menurut Allison, “National interest is the principal category in which strategic goals are conceived” bahwa dalam merumuskan tujuan kebijakan luar negeri, negara mengedepankan National Interest terlebih dahulu. Kedua, mendaftar segala pilihan alternatif kebijakan yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Allison, “Various courses of action relevant to a strategic problem provide the spectrum options” bahwa saat negara menghadapi sebuah isu, negara dihadapkan dengan spektrum opsi atau pilihan-pilihan yang relevan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, menganalisa konsekuensi atau untung rugi dari tiap pilihan tersebut. Menurut Allison, “Enactment of each alternatives course of action will produce a series of consequences. The relevant consequences constitute benefits and costs in terms of strategic goals and objectives” bahwa di setiap pilihan mempunyai konsekuensinya masing-masing dan negara perlu memperhitungkan konsekuensi yang tepat untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri. Keempat, memilih kebijakan yang paling rasional. Menurut Allison, “Rational choice is value maximizing. The rational agent selects the alternative whose consequences rank highest in terms of his goals and objectives” bahwa negara akan memilih pilihan yang mendekati tercapainya tujuan kebijakan luar negeri dan mengambil konsekuensinya.
RAM atau Model I dari Graham Allison ini mempunyai kekurangan dan kelebihan. Para ahli kebijakan luar negeri seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan data yang lengkap dari negara dalam perumusan kebijakan luar negeri karena kurangnya transparansi informasi antara pemerintah dan masyarakat. Namun, RAM dianggap sebagai teori atau model analisa kebijakan luar negeri yang paling general dan fleksibel sehingga dapat diaplikasikan secara mudah tanpa waktu penelitian yang lama. Selanjutnya, analisa RAM akan digunakan untuk menganalisa proses pembuatan kebijakan luar negeri AS ketika menghadapi ancaman pemberontak Houthi di Yaman pada tahun 2015-2018.
D. Analisa
Analisa akan dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Analisa Kepentingan AS dalam Konflik Saudi-Yaman Tahun 2015-2018 Menurut National Interest Theory oleh Hanz Morgenthau dan System Level Analysis
Pada bagian ini analisa akan fokus pada National Interest AS yang membuat AS ikut campur dalam konflik Saudi-Yaman, yaitu karena konflik tersebut disebabkan oleh Iran sebagai aktor utama dibalik pemberontakan Houthi di Yaman.
Kebijakan luar negeri AS selama ini selalu menegasikan Iran, terutama pasca 9/11 dimana Presiden Bush menyebut Iran sebagai Axis of Evil karena adanya dugaan sponsor terorisme dan kepemilikan senjata pemusnah massal atau nuklir. Sementara Iran tidak terlalu memperhitungkan power hegemoni AS dengan terus berusaha mendanai dan mendukung kelompok-kelompok ektrimis yang dinilai ‘memperjuangkan haknya sebagai muslim Shia’ di negara-negara Arab. Iran sebagai negara dengan muslim Shia terbesar di dunia, menggunakan perbedaan Sunni dan Shia sebagai pemicu konflik di Timur Tengah. Jika terjadi diskriminasi atau ketidaksetaraan terhadap muslim Shia di suatu negara Arab maka Iran cenderung akan mendukung mereka untuk melakukan perlawanan. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya kelompok ektrimis dan perang sipil di Timur Tengah. Dengan begitu, Iran dapat memperluas pengaruhnya di negara-negara Arab. Sehingga, dapat dikatakan bahwa National Interest AS yang berhubungan dengan Iran yaitu meminimalisir agresi militer Iran sehingga dapat mencegah Iran menjadi regional leader. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Sekretaris Negara, Mike Pompeo tentang kebijakan luar negeri AS untuk Iran “I will work closely with the Department of Defense and our regional allies to deter Iranian aggression” bahwa AS akan beraliansi dengan negara-negara lain untuk mencegah agresi militer Iran . AS menggunakan strategi counterbalance ancaman Iran atau strategi AS untuk mengimbangi power Iran, sehingga dapat mencegah dominansi pengaruh Iran di Timur Tengah dan dapat menciptakan stabilitas keamanan, karena AS percaya bahwa Iran merupakan satu-satunya ancaman stabilitas keamanan di Timur Tengah.
AS meyakini bahwa pemberontak Houthi yang berhasil menduduki Yaman telah disponsori oleh Iran, dibuktikan dalam sebuah pernyataan dari Jenderal Robert Ashley, Direktur Badan Intelijen Pertahanan kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat bahwa “Low-cost, high-payoff support from Tehran has helped the Houthis improve their military and missile capabilities, demonstrated through missile launches against targets in Saudi Arabia and Saudi-led coalition ships in the Red Sea". Selain itu, dalam sebuah pidato Presiden Donald Trump pada Mei 2018 mengatakan “The Iranian regime is the leading state sponsor of terror. It exports dangerous missiles, fuels conflicts across the Middle East, and supports terrorist proxies and militias”. Sekretaris Negara, Mike Pompeo pada Mei 2018 juga menyebutkan “Thanks to Iran, Hizballah provides the ground forces for the military expedition in Syria. The IRGC, too, has continued to pump thousands of fighters into Syria to prop up the murderous Assad regime and help make that country 71,000 square miles of kill zone. Iran perpetuates a conflict that has displaced more than 6 million Syrians inside the – 6 million Syrians and caused over 5 million to seek refuge outside of its borders. These refugees include foreign fighters who have crossed into Europe and threatened terrorist attacks in those countries. In Iraq, Iran sponsored Shia militia groups and terrorists to infiltrate and undermine the Iraqi Security Forces and jeopardize Iraq’s sovereignty. In Yemen, Iran’s support for the Houthi militia fuels a conflict that continues to starve the Yemeni people and hold them under the threat of terror”. Hal tersebut membuktikan bahwa AS menganggap Iran sebagai aktor dibalik berbagai konflik di Timur Tengah, termasuk perang sipil di Yaman yang disebabkan oleh Houthi. Skeptisme AS terhadap Iran telah berlangsung sejak Revolusi Iran 1979 dimana AS dan Iran memutuskan hubungan diplomatik, namun hal tersebut semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konflik di Timur Tengah seperti terorisme (ISIS, Al-Qaeda, dll) dan kelompok ekstrimis (Hamaz, Hezbollah, Houthi, dll). AS menganggap bahwa pemberontakan Houthi di Yaman yang disponsori oleh Iran merupakan salah satu agresi militer Iran secara langsung terhadap AS dan aliansi AS yaitu Saudi. Yaman menjadi sebuah medan perang proxy antara AS dan Iran melalui Saudi dan Houthi. Saudi dan Houthi hanya sebagai eksekutor dari dua negara oposisi yaitu AS dan Iran yang selalu berlomba mendapat pengaruh terbesar di Timur Tengah.
Ditinjau dari System Level Analysis, National Interest AS untuk meminimalisir agresi militer Iran di Timur Tengah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
a. Karakteristik struktural
Karakteristik struktural diidentifikasi melalui The organization of authority dan Scope, level, and intensity of interactions.
- The organization of authority
Dalam sistem internasional, hubungan antar negara bersifat horizontal karena tatanan dunia yang anarki dan adanya prinsip kedaulatan negara sehingga negara-negara tidak bertanggung jawab secara hukum terhadap otoritas yang lebih tinggi untuk perilaku internasional atau domestik mereka. AS mempunyai otoritas sebagai negara berdaulat yang sama dengan Iran. Ketika AS menganggap Iran sebagai ancaman terhadap keamanan AS, maka AS dapat melakukan segala kebijakan yang diperlukan untuk mempertahankan National Interest AS terhadap Iran. Pemberontakan Houthi yang disponsori oleh Iran merupakan ancaman untuk AS dan dianggap sebagai tindakan agresi militer Iran terhadap AS, sehingga AS cenderung akan melawan balik demi tercapainya National Interest.
- Scope, level, and intensity of interactions
AS dan Iran telah memutuskan hubungan diplomatik sejak tahun 1979 dan sangat sedikit interaksi kerjasama atau perdagangan antara keduanya. Interaksi bilateral keduanya bersifat represif terhadap Iran. Minimnya interaksi yang positif menjadikan AS dan Iran sebagai oposisi terkuat di tingkat global. Sehingga, kebijakan luar negeri yang dihasilkan keduanya seringkali bertentangan dan dianggap mengancam keamanan satu sama lain.
b. Keterkaitan power
Keterkaitan power diidentifikasi melalui The number of powerful actor dan the Context of power.
- The number of powerful actor
Dalam sistem internasional, distribusi power tidak merata. Ada beberapa negara yang mempunyai power lebih tinggi daripada negara lainnya. AS sebagai negara hegemoni global menghadapi tantangan regional di Timur Tengah, yaitu adanya beberapa negara dengan power yang cukup tinggi seperti Arab Saudi dan Iran. Arab Saudi merupakan pemimpin negara-negara Arab atau Gulf Countries dan merupakan negara dengan cadangan minyak terbesar kedua di dunia. Sedangkan Iran, merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang tidak mempunyai hubungan diplomatis dengan AS dan merupakan negara dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Untuk mencapai keamanan energi dan menjaga stabilitas keamanan di Timur Tengah, AS telah beraliansi dengan Saudi untuk penyedia minyak AS dan sebagai perpanjangan tangan atau eksekutor utama AS dalam mencegah ancaman Iran. Saat Iran mengirim pemberontak Houthi ke Yaman, AS counterbalance Iran melalui aliansinya di Timur Tengah yaitu Saudi. Kemudian, Saudi sebagai pemimpin negara-negara Arab dapat berkoalisi dengan negara-negara Arab lainnya untuk mengalahkan Houthi dan Iran. Sehingga, AS mempunyai power lebih dalam counterbalance Iran.
- The context of power
AS mempunyai power yang lebih tinggi dibanding Iran, ditinjau dari GDP dan kuantitas militer AS. Namun dengan dugaan adanya senjata pemusnah massal Iran, AS membutuhkan bantuan dari negara-negara aliansinya di Timur Tengah, terutama Saudi yang mempunyai power ekonomi (ditinjau dari GDP dan cadangan minyak) lebih tinggi dibanding Iran walaupun power militer (ditinjau dari kualitas dan kuantitas peralatan militer) Iran lebih tinggi daripada Saudi. Sehingga, AS mengandalkan Saudi sebagai eksekutor dan aliansi utama dalam mencegah agresi militer Iran, terutama jika Iran juga mengancam keamanan Saudi.
c. Realita Ekonomi
Urusan AS di Timur Tengah tidak lepas dari adanya kebutuhan terhadap suplai minyak. Kestabilan keamanan di Timur Tengah diperlukan agar harga minyak dunia juga stabil. AS sebagai negara hegemoni dianggap mampu menjaga kestabilan keamanan Timur Tengah melalui kontrolnya atas negara-negara Arab. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Chas Freeman, mantan duta besar AS untuk Arab Saudi “The administration believes you have to control resources in order to have access to them”. Namun kenyataannya, Iran merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang tidak dapat dikontrol oleh AS, sehingga banyak ladang minyak di Timur Tengah dikuasai oleh kelompok-kelompok ekstrimis dan teroris yang didukung Iran. Pemberontak Houthi di Yaman juga berhasil menguasai ladang minyak Yaman. Hal tersebut dapat menganggu kestabilan harga minyak dan cadangan minyak. Jika Iran berhasil menguasai cadangan minyak di negara-negara Arab lainnya, maka AS tidak dapat mendapatkan persediaan minyak dengan stabil. Terlebih jika Houthi berhasil menyerang Saudi, hal tersebut dapat menganggu suplai minyak AS. Sehingga, AS perlu menekan pengaruh Iran di Timur Tengah dan meminimalisir agresi militer Iran.
d. Norma-Norma
Skeptisme AS terhadap Iran berawal dari banyaknya dugaan pendanaan kelompok-kelompok ektrimis di Timur Tengah oleh Iran. Lalu meningkat pasca serangan 9/11 dan adanya kepemilikian nuklir Iran. Hal tersebut berkaitan dengan norma-norma yang dianut oleh AS tentang pelarangan kepemilikan senjata nuklir dan War on Terror. Kebijakan luar negeri AS sangat responsif dan represif terhadap negara yang gagal mengikuti kedua norma tersebut. Iran merupakan negara yang tidak mengikuti norma-norma tersebut sehingga AS menganggapnya sebagai oposisi dan sebuah ancaman terhadap keamanan AS.
2. Analisa proses pembuatan kebijakan luar negeri AS terkait dukungan invasi Arab Saudi ke Yaman tahun 2015-2018 menggunakan Rational Actor Model (RAM) oleh Graham Allison
Pada bagian ini analisa akan fokus pada proses pembuatan kebijakan luar negeri AS dalam konflik Saudi-Yaman yaitu memberikan dukungan militer secara intensif ke Saudi untuk invasi Yaman agar pemberontak Houthi dari Iran dapat dikalahkan.
a. Mengidentifikasi tujuan kebijakan luar negeri berdasarkan isu yang dihadapi.
Tujuan kebijakan luar negeri AS dalam konflik Saudi-Yaman sesuai dengan National Interest-nya yaitu meminimalisir agresi militer Iran. AS menganggap Iran sebagai ancaman stabilitas keamanan di Timur Tengah karena Iran mendukung beberapa kelompok ektrimis di negara-negara Arab. Pemberontak Houthi di Yaman dianggap telah menganggu stabilitas keamanan regional terutama lokasi Yaman yang berbatasan langsung dengan Saudi, aliansi utama AS di Timur Tengah. Pemberontak Houthi juga telah menyerang Saudi beberapa kali dengan menembakan rudal, hal tersebut dianggap sebagai agresi militer secara langsung oleh Iran terhadap pengaruh hegemoni AS di Timur Tengah. AS perlu counterbalance ancaman Iran tersebut untuk mencegah Iran menjadi regional leader.
b. Mendaftar segala pilihan alternatif kebijakan yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut.
Ada beberapa alternatif kebijakan luar negeri yang dapat dipilih AS dalam menghadapi pemberontakan Houthi di Yaman dan penembakan rudal Houthi ke Saudi, diantaranya:
- Pemberian sanksi ke Iran
- Invasi ke Iran secara langsung
- Melawan pemberontak Houthi melalui aliansi
c. Menganalisa konsekuensi atau untung rugi dari tiap pilihan tersebut.
Pilihan yang pertama yaitu pemberian sanksi ke Iran mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Pilihan ini pernah diambil oleh AS sebelum tahun 2015 terkait isu dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal Iran. AS telah memberikan beberapa sanksi ekonomi dan militer melalui United Nations Security Council (UNSC) seperti Resolusi 1737 pada bulan Desember 2006, Resolusi 1747 Maret 2007, Resolusi 1803 pada Maret 2008, dan Resolusi 1929 pada Juni 2010 . Namun hal tersebut dianggap tidak efektif dalam menghentikan Iran memperkaya uranium untuk program nuklirnya. Sehingga, AS menilai bahwa pilihan ini kurang efektif dalam mencapai tujuan kebijakan AS yaitu untuk meminimalisir agresi militer Iran. Walaupun Iran telah dijatuhi banyak sanksi ekonomi sebelum tahun 2015, namun Iran terbukti masih mampu untuk mendukung penuh Houthi untuk menduduki Yaman dan menyerang Saudi. Selain itu, pemberian sanksi ekonomi ke Iran belum tentu menghentikan kepentingan Iran untuk menjadi regional leader melalui pendanaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok ekstrimis Timur Tengah. Di sisi lain, pemberian sanksi ke Iran dinilai sebagai pilihan yang paling aman karena jumlah korban yang sedikit dan tidak memperparah situasi keamanan di Timur Tengah. Jika stabilitas keamanan di Timur Tengah terjaga, harga minyak dunia juga dapat stabil. Hal tersebut menguntungkan bagi AS dan negara-negara pengimpor minyak.
Pilihan yang kedua yaitu invasi AS ke Iran secara langsung mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungannya tentu saja dengan AS invasi Iran, dapat mencapai tujuan kebijakan luar negeri AS yaitu meminimalisir bahkan menghilangkan ancaman agresi militer Iran, termasuk pemberontakan Houthi di Yaman yang telah mengancam keamanan AS dan Saudi. Hal ini sering dipertanyakan oleh masyarakat awam karena jika AS sangat menganggap Iran sebagai ancaman terbesarnya di Timur Tengah, lalu mengapa AS belum invasi Iran seperti halnya AS invasi Irak pada tahun 2003? Karena Irak dan Iran mempunyai kapabilitas yang berbeda, sehingga resiko yang dihadapi AS juga berbeda. Iran memiliki kapabilitas militer dan spionase paling kuat yang dihadapi AS dalam beberapa dasawarsa. Iran bukan Grenada, Panama, Somalia, Haiti, Bosnia, Serbia, Afghanistan atau Irak. Dalam semua contoh ini, militer AS selalu mengalahkan negara yang tidak mampu bersaing dengan pasukan darat, angkatan laut, dan udara AS. Militer Iran jauh lebih kompeten dan Iran telah mempelajari strategi perang AS di Timur Tengah selama satu dekade sehingga Iran memiliki pemahaman yang baik tentang taktik dan strategi perang AS. Selain itu, Iran mempunyai wilayah geografis yang menguntungkan diperbatasannya. Struktur geografi perbatasan Iran yaitu padang pasir dapat membuat angkatan darat AS mengalami kelelahan dan selat Hormuz yang berada disebelah barat perbatasan Iran dapat dengan mudah diblokade Iran agar angkatan laut AS tidak dapat memasuki wilayah Iran. Jika AS melakukan serangan udara terhadap Iran, AS harus menanggung resiko korban yang terlalu banyak karena Iran diketahui memiliki anti-aircraft defense systems.
Pilihan yang ketiga yaitu melawan pemberontak Houthi melalui aliansi strategis AS di Timur Tengah yaitu Arab Saudi mempunyai keuntungan dan kerugian. Saudi telah lama menjadi aliansi strategis AS karena keduanya saling membutuhkan dan sama-sama menganggap Iran sebagai ancaman stabilitas keamanan regional dan global. AS butuh suplai minyak mentah Saudi, dan Saudi butuh jaminan keamanan AS dalam menghadapi berbagai ancaman regional. AS dapat mengandalkan Saudi sebagai eksekutor utama untuk melawan pemberontak Houthi di Yaman karena Saudi dianggap mampu untuk memimpin koalisi serangan militer dengan negara-negara Arab lainnya untuk melawan Houthi. Hal tersebut dinilai dapat meminimalisir agresi militer Iran tanpa AS harus mengambil banyak resiko, karena penerima resiko terbesar atas perlawanan Houthi pasti Saudi, karena letak geografis yang berdekatan dengan Yaman. Di sisi lain, AS dapat dikenai kecaman dari negara-negara lain maupun PBB terkait dukungannya terhadap invasi Saudi ke Yaman yang mengakibatkan terjadinya kriris kemanusiaan yang berkepanjangan di Yaman. Selain itu, pemberontak Houthi juga dikhawatirkan menyerang balik Saudi. Jika hal tersebut terjadi, maka dapat menganggu stabilitas suplai minyak AS.
d. Memilih kebijakan yang paling rasional.
Pada akhirnya AS telah memilih alternatif ketiga yaitu melawan pemberontak Houthi melalui aliansi strategis AS di Timur Tengah yaitu Arab Saudi sebagai kebijakan luar negerinya dalam menghadapi ancaman Iran. Saudi telah membentuk koalisi serangan militer dengan negara-negara Arab lainnya untuk melawan Houthi di Yaman melalui Operation Decisive Storm atau Amaliyyat 'Āṣifat al-Ḥazm yaitu serangan udara, darat dan blokade laut, dimana semua perlengkapan militer disponsori oleh AS pada Maret 2015 dan Operation Restoring Hope atau Amaliyyat 'I'ādat al-'Amal pada April 2015. AS juga telah mengirimkan sebuah tim tentara elit AS yang disebut Green Berets untuk membantu Saudi mengalahkan pemberontak Houthi. Bahkan saat Saudi berencana menyerang pelabuhan dan bandara Hodeida Yaman pada bulan Juni 2018 lalu, pemerintah AS telah memberi dukungan terhadap serangan tersebut.
Kebijakan tersebut dipilih karena National Interest atau tujuan kebijakan luar negeri AS dapat dicapai yaitu meminimalisir agresi militer Iran walaupun hanya untuk sementara. Selain itu, kebijakan tersebut menyediakan kerugian terkecil bagi AS yaitu AS tidak perlu mengerahkan semua tentara dan logistiknya dalam melawan Houthi dan tidak perlu khawatir akan serangan balasan Houthi, karena eksekutor utama dalam kebijakan ini yaitu Saudi sehingga resiko-resiko tersebut ditanggung oleh Saudi. Jika Saudi diserang oleh Houthi dan menimbulkan terganggungnya suplai minyak ke AS, hal tersebut tidak terlalu bermasalah bagi AS, karena AS masih bisa impor minyak ke negara-negara lain yang lebih dekat seperti Kanada dan Meksiko. Kecaman dunia internasional terhadap dukungan AS terkait invasi Saudi ke Yaman juga tidak terlalu merugikan bagi AS karena hingga kini belum ada negara yang berani mengambil tindakan tegas (sanksi, agresi militer, dll) terhadap kebijakan AS tersebut.
E. Kesimpulan
Invasi Saudi ke Yaman pada tahun 2015-2018 disebabkan oleh adanya pemberontak Houthi yang didukung oleh Iran berhasil menduduki Yaman. Beberapa kali pemberontak Houthi menembakan rudal ke Riyadh, Saudi namun berhasil dicegat. Hal tersebut merupakan sebuah ancaman keamanan Saudi, karena letak Yaman dan Saudi yang berdekatan. Di saat yang sama, Saudi merupakan aliansi utama AS dan suplai minyak terbesar AS di Timur Tengah. Jika Saudi berhasil diserang oleh Houthi, maka hal tersebut dapat mengganggu produktivitas minyak dan suplai minyak ke AS. AS dan Saudi sama-sama menganggap Iran sebagai satu-satunya ancaman stabilitas keamanan regional, karena Iran telah mendukung pendanaan atau logistik kelompok ektrimis dan terorisme di Timur Tengah termasuk ke pemberontak Houthi di Yaman. Terutama bagi AS, Iran merupakan sebuah negara oposisi yang tidak dapat dikendalikan karena tidak adanya hubungan diplomatis diantara keduanya, dan sulit dikalahkan karena kapabilitas militer Iran cukup kuat. Sehingga, selama ini kebijakan luar negeri AS cenderung skeptis dan counterbalance terhadap Iran.
National Interest AS terhadap Iran yaitu meminimalisir agresi militer Iran sehingga dapat mencegah Iran menjadi regional leader. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor sistem internasional (System Level Analysis) yang memaksa AS untuk menekan pengaruh dominansi Iran di Timur Tengah. Kemudian, National Interest tersebut dijadikan sebagai tujuan kebijakan luar negeri AS dalam menghadapi pemberontakan Houthi di Yaman. AS menghadapi beberapa pilihan alternatif kebijakan luar negeri untuk mengatasi konflik tersebut diantaranya yaitu pemberian sanksi ke Iran, invasi ke Iran secara langsung dan melawan pemberontak Houthi melalui aliansi. Tiap pilihan tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian untuk AS. Pada akhirnya, AS memilih untuk melawan pemberontak Houthi melalui aliansinya di Timur Tengah yaitu Arab Saudi karena pilihan tersebut dapat mencapai tujuan kebijakan AS yaitu meminimalisir agresi militer Iran, walaupun hanya sementara dan resiko yang ditanggung AS tidak terlalu signifikan, yaitu jika pemberontak Houthi atau Iran melakukan serangan balik terhadap Saudi, resiko yang ditanggung AS yaitu suplai minyak dari Saudi ke AS akan terganggu. Namun, hal tersebut dapat ditangani AS melalui suplai minyak dari negara-negara lain yang lebih dekat seperti Kanada dan Meksiko.
Referensi:
Chughtai, A. (2017, May 18). US-Saudi relations: A timeline. Aljazeera. Retrieved June 21, 2018, from https://www.aljazeera.com/indepth/interactive/2017/05/saudi-relations-timeline-170518112421011.html
Dehghan, S. K. (2017, November 7). Saudi Arabia accuses Iran of 'direct aggression' over Yemen missile. The Guardian. Retrieved June 21, 2018, from https://www.theguardian.com/world/2017/nov/07/saudi-arabia-accuses-iran-of-supplying-missile-to-houthi-rebels-in-yemen
Editor. (2018, May 8). Read the Full Transcript of Trump’s Speech on the Iran Nuclear Deal. New York Times. Retrieved June 21, 2018, from https://www.nytimes.com/2018/05/08/us/politics/trump-speech-iran-deal.html
Editor. (2018, April 11). Saudi Arabia intercepts missile over Riyadh: Al Arabiya. Reuters. Retrieved June 21, 2018, from https://www.reuters.com/article/us-saudi-security/saudi-arabia-intercepts-missile-over-riyadh-al-arabiya-idUSKBN1HI28K
Editor. (2018, April 24). Yemen profile - Timeline. BBC. Retrieved June 21, 2018, from https://www.bbc.com/news/world-middle-east-14704951
Gobari, M. (2018, June 17). Saudi-led coalition conducts air strikes on Yemen's Hodeidah airport. Reuters. Retrieved June 21, 2018, from https://www.reuters.com/article/us-yemen-security/saudi-led-coalition-conducts-airstrikes-on-yemens-hodeidah-airport-idUSKBN1JD08E
International Crisis Group. (2018, June 11). Yemen: Averting a Destructive Battle for Hodeida. Retrieved June 21, 2018, from https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b059-yemen-averting-a-destructive-battle-for-hodeida_0.pdf
Johnson, K. (2018, June 11). U.S.-Backed Catastrophe Brewing in Yemen. Foreign Policy. Retrieved June 21, 2018, from http://foreignpolicy.com/2018/06/11/u-s-backed-catastrophe-brewing-in-yemen/
Kaffle, T. R. (2011). Making a Difference: Allison's Three Models of Foreign Policy Analysis. University of Nicosia,1(2). Retrieved June 21, 2018, from https://www.academia.edu/592889/Making_a_Difference_Allisons_Three_Models_of_Foreign_Policy_Analysis?auto=download.
Karam, J. (2018, March 10). US: Iran improved Houthis' ability to hit Arab coalition seapower. Retrieved June 21, 2018, from https://www.thenational.ae/world/mena/us-iran-improved-houthis-ability-to-hit-arab-coalition-seapower-1.711704
Kiyono, K. (1969). A Study on the Concept of The National Interest of Hans J. Morgenthau: As The Standard of American Foreign Policy. Nagasaki University's Academic Output SITE,49(3), 2. Retrieved June 21, 2018, from http://naosite.lb.nagasaki-u.ac.jp/dspace/bitstream/10069/27783/1/keieikeizai49_03_04.pdf
Marleku, A. (2013). National Interest and Foreign Policy: The Case of Kosovo. Mediterranean Journal of Social Sciences,4(3), 5-6. Retrieved June 21, 2018, from www.mcser.org/journal/index.php/mjss/article/download/492/520.
Mullen, J. (2015, March 26). Why is Saudi Arabia bombing Yemen? CNN. Retrieved June 21, 2018, from https://edition.cnn.com/2015/03/26/middleeast/yemen-saudi-arabia-offensive-why-now/index.html
Pompeo, M. (2018, May 21). After the Deal: A New Iran Strategy. Retrieved June 21, 2018, from https://www.state.gov/secretary/remarks/2018/05/282301.htm
Rapier, R. (2016, April 11). Where America Gets Its Oil: The Top 10 Foreign Suppliers Of Crude To The U.S. Forbes. Retrieved June 21, 2018, from https://www.forbes.com/sites/rrapier/2016/04/11/where-america-gets-its-oil-the-top-10-suppliers-of-u-s-oil-imports/#7e2f9d90264c
Rourke, J. T. (2010). Chapter 3: Levels of Analysis and Foreign Policy(12th ed.). Retrieved June 21, 2018, from https://reidyhistory15-16.wikispaces.com/file/view/Rourke12e_Sample_ch03.pdf
Sampathkumar, M. (2018, May 3). US special forces secretly deployed to assist Saudi Arabia in Yemen conflict. Independent. Retrieved June 21, 2018, from https://www.independent.co.uk/news/world/americas/us-politics/us-special-forces-saudi-arabia-yemen-war-green-berets-houthi-rebels-mohammed-bin-salman-a8335481.html
Slantchev, B. L. (2005, April 19). Introduction to International Relations Lecture 3: The Rational Actor Model. Retrieved June 21, 2018, from http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/03-rational-decision-making.pdf
U.S Government. (2018, May 20). OFAC FAQs: Iran Sanctions. Retrieved June 21, 2018, from https://www.treasury.gov/resource-center/faqs/Sanctions/Pages/faq_iran.aspx
Komentar
Posting Komentar