Globalisasi: Meningkatkan angka kemiskinan?
Apakah globalisasi meningkatkan angka kemiskinan atau menurunkannya?
![]() |
Malnutrisi merupakan salah satu ukuran kemiskinan |
Secara teori kemiskinan adalah suatu kondisi dimana seseorang hidup dengan pendapatan kurang dari 1,90 USD per hari[1]. Secara empiris kemiskinan merupakan fenomena multidimensi yang meliputi aspek ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, sehingga kemiskinan juga bisa diukur melalui angka kematian ibu dan bayi, akses terhadap air bersih dan sistem sanitasi, angka literasi, angka kesetaraan gender, dan kesetaraan ekonomi. Berdasarkan Bank Dunia, angka kemiskinan global menurun dari 1,85 miliar pada tahun 1990 menjadi 0,76 miliar pada tahun 2013[2]. Beberapa dekade terakhir, globalisasi telah mengintegrasikan teknologi dan komunikasi yang berefek pada mudahnya arus modal dan investasi, perdagangan dan transaksi, serta penyebaran pengetahuan, yang bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi (GDP) negara-negara didunia dari tahun 1990 sampai 2015[3]. Hal tersebut menunjukan bahwa globalisasi membantu mengurangi angka kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, dibuktikan dengan angka peningkatan pertumbuhan ekonomi (GDP= wages+interest+rent+profit).
Namun
dalam implementasinya, sampai sekarang masih ada jutaan orang yang kesulitan
mengakses air bersih dan angka kematian ibu serta bayi masih tinggi di beberapa
negara seperti contohnya pada video dokumenter yang berjudul Welcome To The World. Why
Poverty? di https://www.youtube.com/watch?v=KigXe6RIczw&t=24s.
Hal tersebut membuktikan bahwa globalisasi atau “internasionalisasi” tidak
berefek signifikan secara inklusif. Pertumbuhan ekonomi meningkat seiring
dengan meluasnya ketidaksetaraan pendapatan, karena distribusi pendapatan dunia
makin menurun dari awal abad ke-21 sampai sekarang[4]. Sehingga, globalisasi dapat dikatakan juga sebagai penyebab
meningkatnya global inequality. Globalisasi lebih menguntungkan bagi
negara-negara maju, sementara negara berkembang akan kesulitan untuk catch up selama masih ada faktor
korupsi, eksploitasi sumber daya alam, ketidakmandirian ekonomi,
ketidakstabilan politik, rendahnya infrastuktur, kurangnya sistem peradilan,
dan lain-lain. Di sisi lain, negara berkembang perlu mengalokasikan investasi
sepenuhnya pada pembangunan nasional, terutama pembangunan infrastruktur dan
SDM (kesehatan, keterampilan dan pendidikan) agar dapat memperkecil kesenjangan
antara golongan elit dan miskin. Inklusivitas globalisasi dapat direalisasikan
jika pemerintah, MNC, dan INGO/NGO berkonstribusi bersama dalam menangani
kemiskinan dan meningkatkan pembangunan.
[1] Kingsbury, D., & Hunt, J.
(2012). International Development
Issues and Challanges (2nd ed.). Hampshire, England: Palgrave
Macmillan. Page 219
[2] World Bank. Poverty headcount ratio
at $1.90 a day (2011 PPP) (% of population). Retrieved March 18, 2018, from
https://data.worldbank.org/topic/poverty
[3] World Bank. GDP, PPP (Current
international $). Retrieved March 18, 2018 from https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.PP.CD
[4] Roser, M. (2015, March 27). Income
inequality: Poverty falling faster than ever but the 1% are racing ahead. The Guardian. Retrieved March 18, 2018,
from
https://www.theguardian.com/news/datablog/2015/mar/27/income-inequality-rising-falling-worlds-richest-poorest
Komentar
Posting Komentar