UNCLOS: Guyana v. Suriname



Delimitasi Batas Maritim Guyana v. Suriname




A. Latar Belakang Kasus


Guyana adalah bekas jajahan dari Inggris hingga akhirnya merdeka tahun 1966 dan Suriname juga merupakan bekas jajahan dari Belanda yang akhirnya merdeka tahun 1975. Sejak tahun 1929 Inggris dan Belanda telah melakukan banyak negosiasi terkait delimitasi batas maritim Guyana dan Suriname. Namun keduanya tidak dapat menyimpulkan perjanjian resmi untuk Guyana dan Suriname. Berikut beberapa poin penting negosiasi ditinjau dari segi historis berdasarkan data dari Arbitration Award mengenai delimitasi batas maritim antara Guyana dan Suriname:

  • Pada tahun 1936, Inggris dan Belanda sepakat tentang titik awal untuk delimitasi batas maritim yaitu pada titik tertentu di tepi barat Sungai Corentyne kemudian disebut sebagai Titik 61. Selain itu, anggota Inggris dan Belanda dari Mixed Boundary Commission juga menyimpulkan bahwa delimitasi di laut teritorial harus ditetapkan pada 10 ° BT dari utara ditarik dari Titik 61. 
  • Pada tahun 1939, Inggris menyiapkan rancangan perjanjian tentang delimitasi batas maritim antara Guyana dan Suriname, yang menetapkan bahwa batas laut teritorial akan berada di sepanjang garis 10 ° dari utara namun tidak direspon oleh Belanda. Pada tahun 1961, Inggris menyiapkan rancangan perjanjian baru bahwa delimitasi sepanjang garis 10 ° BT dari utara ditarik dari Titik 61. 
  • Pada tahun 1962, Belanda menanggapi rancangan perjanjian Inggris dengan mengajukan rancangannya sendiri bahwa delimitasi batas maritim akan mengikuti garis 10 ° BT. 
  • Pada tahun 1966, setelah Guyana merdeka, Inggris menjadi tuan rumah perundingan Guyana dan Suriname yang disebut Marlboro House Talk. Guyana menganjurkan penggunaan prinsip garis equidistance untuk delimitasi batas maritim dengan Suriname yang menghasilkan garis 33°- 34° BT. Namun hal itu tidak disetujui oleh Suriname. 
  • Pada 30 Juni 1977, Guyana mengesahkan peraturan domestik yaitu Maritime Boundaries Act 1977, yang mendefinisikan batas-batas laut Guyana dalam keadaan ketiadaan kesepakatan, yaitu by the means of equidistance lines (Pasal 35 (1) Maritime Boundaries Act 1977).
Sehingga sejak tahun 1977 Guyana mengadopsi garis equidistance yaitu delimitasi batas maritim Guyana tidak kurang dari 34 ° BT dari utara ditarik dari Titik 61 secara konsisten untuk kegiatan perminyakan. Di sisi lain, Suriname belum ada respon keberatan terkait hal tersebut tapi tetap tidak mau merundingkan penyelesaian secara formal dengan Guyana sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Suriname bersikeras bahwa delimitasi batas maritimnya 10 ° BT dari utara ditarik dari Titik 61. Selain itu, pada tahun 1977 dan 1978 Guyana dan Suriname telah memperluas luas laut teritorial mereka dari 3 hingga 12 nm.
Menjelang tahun 2000, Suriname mulai mengambil tindakan agresif terhadap Guyana terkait sengketa maritim tersebut. Pada bulan Juni tahun 2000, kapal bor minyak milik perusahaan CGX, salah satu pemegang konsesi Guyana berada di wilayah maritim yang disengketakan antara Guyana dan Suriname, lalu kapal tersebut diperintahkan untuk pergi dan dikawal oleh angkatan laut Suriname dengan cara-cara militer. Pada bulan Februari 2004, Guyana membawa kasus ini ke Permanent Court of Arbitration atas pelanggaran artikel 286, 287, dan Annex VII United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Guyana mengajukan 3 isu yaitu (i) delimitasi maritim antara Guyana dan Suriname; (ii) Klaim Guyana atas kerusakan yang diakibatkan oleh perlakuan angkatan laut Suriname terhadap pemegang konsesi minyak di area yang disengketakan; dan (iii) salah satu dugaan pelanggaran terhadap kewajibannya menurut Pasal 74 (3) dan 83 (3) dari UNCLOS untuk melakukan segala upaya “to enter into provisional arrangements of a practical nature” sambil menunggu keputusan penetapan dan “not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement”.


B. Analisa Kasus

Delimitasi batas maritim merupakan salah satu aspek dalam integritas teritorial sebuah negara, sehingga jika hal tersebut melibatkan negara lain maka harus dibentuk suatu perjanjian. Dalam lingkup domestik, delimitasi sepihak merupakan hal yang sah, namun dalam hukum internasional peraturan delimitasi tersebut tidak mengikat negara lain. Lalu bagaimana status delimitasi negara jika perjanjian tersebut belum terbentuk? Delimitasi batas maritim negara-negara dengan pantai yang berdekatan atau berseberangan merujuk pada pasal 15 dari Convention on the Law of The Sea 1982 bahwa Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith.

Dalam pasal ini ada prinsip equidistance atau prinsip garis sama jarak yaitu garis yang dibentuk dari tiap titik yang mempunyai jarak terdekat dari titik-titik pada garis pangkal kedua negara, dimana garis tersebut menghasilkan garis median atau garis tengah. Untuk negara pantai yang bersebelahan, garis tengah ditarik dari titik awal yang berbentuk tegak lurus dari garis pangkal. Pasal 15 UNCLOS mengaskan bahwa selama tidak ada perjanjian antara kedua negara maka negara tidak berhak memperpanjang laut teritorialnya di luar garis median tersebut. Hal ini yang telah dilanggar Guyana dan Suriname setelah keduanya merdeka terkait perluasan laut teritorialnya dari 3nm ke 12nm selama belum ada perjanjian yang sah. Selain itu, prinsip uti possidetis juga berlaku dalam delimitasi batas maritim negara, bahwa batas-batas maritim negara dapat ditentukan dari warisan negara kolonial sebelumnya. Hal inilah yang nantinya menjadi hasil pertimbangan Tribunal terhadap delimitasi batas maritim Guyana dan Suriname.



C. Hasil Tribunal

Terkait dengan delimitasi batas maritim di laut teritorial, Tribunal menerapkan pendekatan berdasarkan Pasal 15 UNCLOS, yang menempatkan keutamaan pada garis median sebagai garis pembatas antara laut teritorial negara-negara yang berdekatan, tunduk pada keadaan khusus. Keadaan khusus tersebut yaitu adanya penyimpangan dari garis median yang disepakati oleh negara-negara kolonial terdahulu atas garis 10 ° BT dari utara yang ditarik dari titik awal atau Titik 61. Meskipun perjanjian tersebut tidak ditandatangani oleh kedua belah pihak namun pernah disepakati (uti possidetis) dan dalam periode 1930an sampai 1960an keduanya menghormati garis 10 ° BT tersebut (state practice/customary law). Selain itu, Tribunal menyatakan bahwa garis 10 ° BT dibentuk antara Guyana dan Suriname dari titik awal hingga batas 3 nm. Mengenai insiden di wilayah yang disengketakan, Tribunal memutuskan bahwa tindakan angkatan laut Suriname merupakan ancaman the use of force yang bertentangan dengan hukum internasional, tetapi menolak klaim Guyana untuk kompensasi moneter. Kedua negara juga telah melanggar kewajiban mereka dalam artikel 74 ayat 3 dan artikel 83 ayat 3 UNCLOS yaitu untuk shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature.





Referensi:

Permanent Court of Arbitration. (2007, September 17). Award in the Arbitration Regarding the Delimitation of Maritime Boundary Between Guyana and Suriname. Retrieved from http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XXX/1-144.pdf

Permanent Court of Arbitration. (2007, September 17). Guyana v. Suriname. Retrieved April 9, 2018, from https://pca-cpa.org/ru/cases/9/


United Nations Convention on The Law of The Sea, Geneva, 10 December 1982, United Nations Conventions Agreement, p. 24, retrieved from http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf

Komentar